Tahun ini adalah tahun yang cukup menantang untuk dunia pendidikan di Indonesia, juga di seluruh dunia. Semua tenaga pengajar dan pendidik dihadapkan pada “ancaman” baru yang berpotensi membuat para siswa malas belajar: ChatGPT.
Meski demikian, sebagaimana teknologi baru lainnya, ChatGPT masih jauh dari kata sempurna. Chatbot AI ini masih sering memberikan jawaban yang tidak akurat, keliru, atau terkesan ngasal. Namun, akibat dari hal ini membuat banyak perusahaan esai yang memproduksi konten berbayar, dengan penawaran menjanjikan bahwa mereka menggabungkan AI dan tenaga manusia untuk menciptakan produk akhir yang tidak dapat terdeteksi oleh perangkat lunak yang dirancang untuk mendeteksi kecurangan—konten yang dibuat dengan AI.
Dan, menurut analisis yang baru diterbitkan dalam repositori open-access arXiv, perusahaan-perusahaan ini mencari klien di platform TikTok dan media sosial milik Meta—meskipun praktik ini ilegal di sejumlah negara, termasuk Inggris, Wales, Australia, Selandia Baru. Indonesia sendiri belum menunjukkan angka penawaran yang signifikan.
Menariknya, para perusahaan yang memberikan penawaran praktik ilegal ini tak hanya hadir lewat postingan biasa, tetapi juga melancarkan aksinya lewat iklan-iklan berbayar. Booming AI yang terjadi belakangan ini ternyata menimbulkan celah yang dapat dimanfaatkan oleh para pengiklan di TikTok maupun Meta sehingga banyak iklan yang tak sepatutnya lolos malah berhasil tayang. Kini, para platform media sosial memperbarui kebijakannya untuk memerangi tindakan periklanan yang ilegal.
“Masalah ini menjadi semakin besar seiring dengan semakin meluasnya penggunaan AI,” kata Thomas Lancaster, seorang spesialis integritas akademik di Imperial College London.
Seiring dengan makin maraknya penggunaan AI, tentu makin beragam pula ancaman tindakan negatif yang akan muncul sehingga berbagai pihak harus bekerja ekstra untuk mencegahnya, termasuk (dalam hal ini) ketegasan para guru dan kejujuran para siswa.